“kita dua orang
yang terluka, dan saling meluka”
Ya, kali ini aku
akan bercerita tentang dua manusia yang saling bersama. Mereka yang mencoba
menekan dan mengabaikan luka masa lalu dengan cara menjalani segalanya bersama.
Terkesan memaksa keadaan dan bermain jahat dengan masa depan. Merancang rencana
bagaimana masa depan mereka nantinya. Merancang cara A, B, C dan lainnya.
Membuat konsep masa depan “ideal” agar semua terasa manis. Menjalani segalanya
bersama, susah dan senang. Berusaha saling melengkapi satu sama lain. Mencari
dan mencari “sosok” yang diinginkan dalam tubuh mereka satu sama lain.
Terlihat bahagia
dan selalu bersama. Membuat banyak kecemburuan karena manisnya hubungan mereka.
Pun mereka sama, mencoba menikmati dan menjalani segalanya, terlihat saling
menerima satu sama lain. Senyuman dan tawa serta tatap mata yang melekat.
Lengan yang saling menyatu. Hingga melebur menjadi satu dan menciptakan
teriakan-teriakan kecil dari tatapan sekitar mereka.
Nyatanya, apakah
itu yang mereka cari? Apakah mereka saling menginginkan satu sama lain?
Malam itu, mereka
saling bertanya. Dibuka dengan permainan truth
or dare dan dilanjut dengan “kita harus jujur, ga boleh marah sama jawaban
yang nantinya akan keluar”. Salah satu dari mereka mengangguk menyetujui
peraturan itu. “hanya lima kesempatan ya” setelah anggukan itu terhenti.
Bertanya tentang masa lalu, diselipkan hukuman. Hingga mereka terdiam dengan
segala jawaban yang keluar. Dan malam itu habis dengan kesunyian melalui
kejujuran yang mereka ciptakan. Entah kejujuran atau luka, dua hal itu memang
beririsan satu sama lain. Layaknya jemari yang terjepit pintu dan meninggalkan
darah terjepit pada jemari itu. Antara akan berdarah keluar namun tertahan oleh
kulit yang melapisinya. Sama seperti keadaan mereka malam itu.
Esoknya, mereka
masih bersama. Layaknya tidak terjadi apa-apa pada malam itu. Mencoba tidak
berfikir tentang jawaban dan pertanyaan yang terucap. Hingga salah satu dari
mereka berkata “kamu sadar ga? Kita sama-sama lagi terluka, kita sama-sama
menyimpan luka dan kita nyoba jalan bareng kayak gini”. Lawan bicaranya hanya
diam, tidak berani menjawab. “iya ga menurutmu?”. Terpejam dan menjawab “iya”
dengan nada rendah.
"Aku tuh kayak punya raga kamu, tapi ga sama hati kamu". Sontak membuatnya terdiam. "Benarkah?? Sejahat itukah aku?" Pikir salah satunya. Lagi lagi hanya hening. Skak mat, dengan tatapan semakin nanar dan pandangan yang mengosong meninggalkan tempat itu. Merasa salah dan menjadi manusia yang jahat. Itu yang
dirasakan olehnya. Maaf, salah satu dari mereka harus marah ah bukan, lebih
tepatnya kecewa dengan dirinya sendiri karena telah merasa berbuat jahat kepada
pasangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar